Ole-Ole dari Aceh Pidie Jaya
Sumber Foto :: Google |
Jika bertandang ke Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, belum lengkap rasanya kalau tak mencicipi Adee Meureudu; kue sejenis bingkang beraroma bawang goreng yang rasanya legit dan gurih. Di daerah asalnya, Adee sering dijadikan kudapan pendamping kopi di warung-warung, dan hidangan untuk tamu dalam kenduri atau hajatan adat.
Dulu Adee hanya ada saat bulan Ramadan, dimana banyak di jual ketika jelang berbuka puasa. Setelah bencana tsunami menerjang Aceh, Adee kini sangat mudah ditemui dan menjadi oleh-oleh khas Pidie Jaya yang amat diminati, karena sudah tersedia dalam kemasan praktis. Soal legalitas, Adee di sana sudah mendapat izin Balai Pengawasan Obat Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan.
Memasuki Kabupaten Pidie Jaya, kita dengan mudah bisa menemui rak dan kios-kios penjaja Adee di sepanjang Jalan Nasional Banda Aceh-Medan. Terutama saat memasuki Kecamatan Bandar Baru, Meureudu, Meurah Dua, Ulim dan Bandar Dua. Mereka menawarkan Adee dengan berbagai merek. Uniknya merek Adee Meureudu rata-rata menggunakan kata depan Kak yang diambil dari nama panggilan pembuatnya, misalnya Kak Mah, Kak Aina, Kak Mutia, Kak La dan lainnya. Produsen Adee semuanya berasal dari industri rumah tangga di Meuraksa, desa pesisir di Kecamatan Meureudu. Tapi, mereka tetap mengedepankan persaingan yang sehat, tanpa saling jegal.
"Kami saling menghormati, sudah punya pelanggan masing-masing," kata Asmah (35) alias Kak Mah, seorang pemilik usaha Adee, beberapa waktu lalu. Ia menabalkan nama panggilannya pada merek Adeenya. Bermula dari ilmu secara turun temurun dari orangtuanya, Kak Mah mampu memproduksi 100 sampai 200 potong Adee dalam berbagai ukuran dan rasa sehari. "Kalau ada permintaan khusus malah bisa 300 (potong)," ujarnya.
Proses produksi berlangsung di bawah bangunan seluas separuh lapangan volley, di belakang rumahnya. Untuk kelancaran usaha, ia mempekerjakan 12 orang warga setempat. Adee punya dua rasa; tepung dan ubi. Cara buatnya tak sukar. Bahan utamanya adalah tepung terigu untuk rasa tepung, dan ubi yang sudah dilicinkan, untuk Adee rasa ubi. Bahan selanjutnya yakni gula pasir, telur, santan kelapa, daun pandan dan vanilli. Semua bahan itu diolah menjadi adonan.
Nah, pada cara mengaduk dan takaran bahannya ini dituntut ketelitian ekstra."Butuh keahlian," sebut Kak Mah. Adonan kemudian dimasukkan dalam loyang yang sudah dilumuri minyak goreng dan bawang. Panas kan dulu agar tak lengket. Tahap selanjutnya adalah memanggangnya dalam oven atau tungku. Kalau sudah matang, Adee siap disantap. Karena proses pembuatannya tanpa memakai pengawat, penganan yang teksturnya lembut itu hanya tahan paling lama tiga hari. Adee hasil produksi Meuraksa itu kemudian dititipkan di kios atau otlet-otlet khusus. Bukan hanya di Pidie Jaya, tapi juga di kabupaten tetangga seperti Pidie, Bireun, Banda Aceh bahkan dikirim hingga ke luar Aceh, sesuai permintaan.
Habsah (32) seorang pemilik kios Adee di Jalan Banda Aceh-Medan kawasan Simpang Empat, Pidie Jaya mengatakan, permintaan Adee lumayan tinggi. "Khususnya dari orang-orang yang sedang bepergian," katanya. Kendaraan yang melintas di depan kiosnya, banyak yang berhenti untuk membeli Adee. Dalam sehari Adee yang dijualnya bisa laku hingga 100 potong. "Rasa ubi dan tepung sama lakunya," sebut Habsah.
Adee yang dijualnya terdiri dua ukuran dengan harga Rp25.000 untuk kotak besar dan Rp15.000 untuk satu kotak kecil. Nah, Anda tertarik untuk mencicipi Adee?
Sumber : Aceh Online
Tags:
Acehku
0 komentar