Sepenggal Kisah Aceh Merdeka!

Oleh : AL MUHAJJIR

Judul : Marwah di Ujung Bara
Penulis : Rh. Fitriadi
Penerbit :Pro-Book anggota Proumedia – Yogyakarta
Cetakan : I; 2011
Tebal Buku : 410 Halaman


Secara spesifik buku ini menceritakan gerakan sipil yang dibangun oleh mahasiswa pada tahun 1998 hingga 2004. Di mana pada tahun 2001, sejarah besar dalam perjalanan konflik Aceh terjadi. Pada tanggal 4 November 2001, sebanyak dua juta masyarakat berkumpul di Mesjid Raya Baiturrahman menyatakan tuntuan refenrendum.

Tokoh yang terdapat di sana adalah mereka-mereka para aktifis mahasiswa yang didominasi oleh mahasiswa jantong hatee rakyat Aceh, yaitu Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry. Mereka aktif di Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) yang memiliki rasa kepedulian terhadap Aceh saat itu.

Yang membuat novel ini semakin menarik, adalah terdapatnya tokoh yang bernama Nazar dan Dewi Mutia. Di sana diceritakan bagai epiknya perjuangan Nazar dalam membangun gerakan mahasiswa yang terhimpun dalam Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA).

Sebenarnya, melalui novel ini si penulis ingin mengajak para mahasiswa agar tidak mengecilkan sejarah pergerakan sipil yang dibangun oleh mahasiswa. Ia melihat dewasa ini mahasiswa sudah kehilangan jati diri. 

Di dalam buku ini menceritakan banyak pihak bermain di balik rumitnya konflik yang melanda Serambi Mekah selama tiga setengah dekade. Gugatan cerai pun di layangkan kepada Pemerintah Pusat NKRI. Sebagai tanggapan, Pemerintah bernafsu menjadikan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer mulai 19 Mei 2003 selama enam bulan. Dalihnya: untuk menumpas pemberontak yang bertopeng Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sayangnya, penumpasan terhadap GAM itu berbuah petaka. Militer di lapangan tidak mempunyai standar spesifik tentang siapakah pemberontak yang sebenarnya. Sehingga warga sipil sering menjadi korban: ’dibasmi’ lantaran diduga sebagai anggota GAM.

Kesalahan sasaran inilah yang membuat banyak warga memberontak. Salah satunya seperti dialami Meurah Muda. Mahasiswa Ushul Fiqih IAIN Ar Raniry ini terpaksa menimbun bara dendam lantaran Ayahnya diberondong peluru oleh militer sepulang mengajar ngaji. Bahkan, Ibunya yang kala itu mencegah sang Bapak untuk keluar rumah ikut mencicipi timah panas yang bersarang dalam betis sebelah kanannya.

Karena hal itulah, Muda menaruh dendam kepada seluruh keturunan Jawa lantaran pemimpin tertinggi Pemerintah Pusat kala itu adalah Putri Jawa. Bagi Muda, seluruh keturunan Jawa adalah Yahudi yang membenci semua ras selain mereka. Kebencian itu menurut Muda diwujudkan dengan ’membasmi’ seluruh warga dari suku lain termasuk keluarganya di Aceh melalui tangan militernya. Belum lagi beban bahwa dirinya termasuk dalam daftar hitam yang wajib dilumpuhkan menjelang digulirkannya status Darurat Militer lantaran disinyalir terlibat dalam GAM. Semua yang dia alami itu semakin menyuburkan benih kebenciannya terhadap seluruh keturunan Jawa. (Hal 73)

Di sinilah Gerakan Mahasiswa unjuk gigi. Bahwa mereka adalah aktor independen yang peduli dengan persatuan seluruh komponen bangsa. Maka, Fauzan Zaid, ketua BEM yang sekaligus anak tunggal Abu Hamzah ketua DPRD Aceh mencoba memobilisasi ribuan masa untuk menolak status Darurat Militer. Konyolnya, Ia nekat membacakan Petisi Penolakan Mahasiswa terhadap diberlakukannya status Darurat Militer dalam sidang paripurna DPRD, seorang diri. Sementara pada sidang paripurna itu DPRD mendukung diberlakukannya status Darurat Militer lantaran ’tekanan’ Pemerintah Pusat. Dalam pembacaan Petisi tersebut, terletak kombinasi konflik yang mengaduk perasaan antara Abu Hamzah dan Fauzan Zaid: antara Ayah dengan Anaknya; antara ketua DPRD dengan ketua BEM. Dilematis tentunya. (hal 200)

Dalam pikiran Fauzan yang idealis, Darurat Militer hanyalah minyak yang akan menyulut berkobarnya api permusuhan antara warga dan militer. Parahnya, ternyata sekretarisnya di BEM Al Hijri adalah mata-mata dari intelijen negara yang sengaja disusupkan dalam Pergerakan Mahasiswa. Al hijri adalah musuh dalam selimut. Ia menikam sahabatnya sendiri. Akhirnya, Fauzan berhasil dilumpuhkan oleh Al Hijri sehingga aksi yang digadang-gadang itu tak jelas ujungnya. (Hal 407)

Yang paling khas dari Rh Fitriadi dalam novelnya setebal 412 halaman ini adalah kejutan-kejutan konflik di setiap episode. Ia menyajikannya dari awal hingga akhir cerita, tanpa bisa ditebak sebelumnya. Sehingga Kita ’dipaksa’ untuk terus membacanya, tanpa henti, hingga lembar terakhir. Beliau juga piawai dalam memotret sebuah kasus dari beragam sisi. Mulai dari sisi politik, konspirasi, pergerakan hingga ke dalam sisi kehidupan rakyat biasa. Sesekali, Penulis juga menjadi sangat bijak dengan sajian-sajian nasihat penyejuk hati yang diselipkan dengan mengalir, tanpa menggurui.

Di samping itu, hal lain yang membuat buku ini menarik adalah ditulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negeri rencong. Dimana hal tersebut terkesan tabu untuk dibicarakan lebih detail. Namun, Rh Fitriadi berhasil mengemasnya dengan kejelian sehingga layak baca untuk dijadikan cermin sehingga bisa melangkah ke depan dengan lebih baik, utamanya dalam menjaga keutuhan persatuan. Buku ini juga ditulis dengan riset yang cukup lama selama satu tahun dimana para pelaku sejarahnya, hingga kini masih ada yang hidup. Salah satu dari pelaku sejarah yang dinovelkan itu adalah Muhammad Nazar yang pernah menjadi Wakil Gubernur Aceh pada kemarin.

Namun dalam buku ini menjelaskan ternyata, Status Darurat Militer itu hanyalah permainan pihak asing yang hendak mengeruk keuntungan di balik kesengsaraan rakyat jelata di bumi Serambi Mekah.



Pada akhir buku ini cerita yang akan diceritakan masih tergantung, karena ada sambungan cerita pada buku edisi selanjutnya, namun disini si penulis membuat pembaca penasaran dengan cerita selanjutnya, sehingga pembaca ingin membaca lagi buku edisi berikutnya. Maksud si penulis membuat ceritanya bersambung dan semakin menarik di akhir buku ini yaitu untuk mengejak pembaca untuk melanjutkan membaca buku edisi selanjutnya.

Share:

0 komentar