Diari Hujan. Episode Memori Daun Pisang

Sumber : Google
Hari ini hujan kembali mengguyur kota tempat tinggalku. Rinai-rinai yang jatuh begitu deras menyapa genteng atap kost-kostan tempat aku tinggal di perantauan ini. Hujan mambangkit memori-memori yang telah berlalu.

Ku keluar menatap indahnya hujan. Sambil menjulurkan tangan kearah hujan, menikamati rinai-rinai yang begitu menyejukkan. Ku pejamkan mata ketika tanganku menyentuh hujan, sebuah kenangan terlihat disana. Sambil tersenyum ku buka lagi mataku. Menyaksikan hujan turun.

Kau tahu apa yang aku lihat, sebuah kenangan masa lalu. Momori daun pisang, begitulah judul lagu dangdut yang pernah ku dengar. Memori daun pisang benar-benar terjadi padaku, meski ini bukan kisah cinta. Bukan. Ini kisah cinta, cinta untuk terus besekolah.


***
hari itu 11 tahun silam. Tepatnya tahun 2001 aku masih duduk dikelas 4 SD di desaku. Jarak antara SD dan rumahku tidak terlalu jauh. Masih bisa di katakan dekat, ya mungkin hanya berjarak kurang lebih 500 meter saja. Hari itu hujan begitu lebat mengguyur desaku. Pagi yang dingin untuk bersekolah. Namun aku harus bersekolah meski hujan begitu deras. Daun pisang tersedia di dekat pintu, Ayah sudah mempersiapkan untuk aku dan saudaraku bersekolah. Adikku yang bersekolah di kelas 3 dan abangku kelas 6 dan kelas 2 SMP di desaku.

Ku ambil satu, ku langkahkan kaki menuju sekolah. Di diperjalan ku lihat seorang teman berlari ke arahku. ''bang. Numpang ya'' tanpa menunggu persetujuan dari ku. Ia langsung berteduh dibawah payung daun pisangku. Ia adalah Meri adik sepupuku. Rumah kami memang dekat, cuman bersebelahan saja. Aku hanya tersenyum kearahnya, sambil tetap terus berjalan menuju sekolah.

Di sekolah tidak terlalu ramai yang datang, mungkin karena suasana hujan. Namun hari itu, ada kisah yang tidak bisa aku lupakan. Dhani teman sekelasku, hari itu sakit perut. Ia mengajakku untuk menemaninya. Namun karena kebodohanku aku harus menerima konsekuensi. Kami berdua minta izin pada guru kelas, namun hanya satu orang yang diperbolehkan keluar, karena aku yang berbicara dengan wali kelas aku yang keluar. Sedangkan Dhani yang sedang sakit perut menahan sakitnya. Betapa bodoh dan egoisnya aku kala itu.

Kala itu sekolahku tidak memiliki WC, kami harus ke surau terdekat, karena di situ ada subuah parit tempat pengaliran air dari sungai untuk sawah-sawah desaku. Aku kesana.

Beberpa menit kemudian aku kembali ke kelas. Ku lihat Dhani, masih menahan sakit perutnya. Lalu sang guru kelas bertanya. ''kenapa menangis Dhani?'' Dhanipun menjawab.
''sakit perut bu, ibu tidak mengizinkan saya keluar. Yang ibu izinkan dia'' sambil menunjuk kearahku.
''kenapa kamu yang keluar tadi??'' tanya sang guru padaku
''aku juga sakit perut bu'' aku membela diri. Lalu tiba-tiba, plak, tangan sang wali kelas menempel di pipiku. Aku hanya diam, dengan sedikit menahan rasa sakit dan ada kristal-kristal tertahan di sela-sela mata. Semua mata tertuju padaku. Lalu guru kelas menghampiri Dhani, dan menyuruhnya untuk pulang. Sedangkan aku kembali ke tempat bangku tempat aku duduk. Roni teman sebangku menghiburku. Aku menyeka air mata yang aku tahan tadi. Dan aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang ia jelaskan.
***

itulah kisah, betapa bodoh dan egoisnya aku, yang hingga kini tersimpan sebagai kenangan yang tidak terlupakan.

Share:

1 komentar