Aku sang pemalas
Titik-tirik
gerimis mulai turun satu persatu membahasi bumi ini. Ku lihat dia
menjulurkan tangan ingin merasakan hujan. Ada sesuatu yang dirasakannya.
Aku tak tahu itu, namun juga ada sedikit emosi marah melekat di
wajahnya, aku dapat melihat itu, hari ini dia marah-marah saja.
Kau tahu mengapa ia marah??? Aku tahu itu, ia menganggapku seorang pemalas yang enggan membereskan maupun membersihkan istana tempat tinggal kami. Aku sengaja melakukan itu, aku ingin melihat ekspresi dia bagaimana. Namun kelakuanku ini memang membuatnya marah padaku, bahkan di sepanjang perjalanan menuju kampus dia enggan berbicara padaku, kecuali ada hal penting yang ingin dia tanyakan padaku.
Sebenarnya bukan aku tak ingin membersihkan istana ini, namun aku malas, kenapa harus aku selalu, dan aku fikir biarkan dia yang mengerjakannya sekali-kali. Kemalasannya ku ini membuat aku merasa bersalah membuat teman seistana denganku marah. Aku selalu merasa bersalah, dan terus merasa bersalah. Dan ku beranikan mengucapkan kata maaf meski sebenarnya tidak sepenuhnya aku bersalah seratus persen.
Pulang kuliah aku harus kerja. Sebelum ketempat kerja aku menemani Budi teman sekampusku menuju ke sebuah tempat belanja alat-alat perkuliahan. Sekalian aku diantar oleh Budi menuju tempat aku bekerja sebagai operator warnet.
Detik demi detikpun berlalu, menit hingga jam pun berjalan. Kini malam telah larut, aku menunggu jemputan dari teman seistana denganku. Biasanya dia tidak pernah telat menjemputku. Namun kali ini dia tidak datang setelah setengah jam aku menunggu dia datang. Ku putuskan untuk menginap di tempat aku kerja.
Keesokan harinya, ketika aku pulang ke istana kecilku. Ku pergi kedapur. Terdapat sebuah tulisan disana ''jangan gunakan barang ini. Jika bukan punya sendiri''. Aku sadar diri, begitu marahnya dia. Barang-barangku memang masih tinggal di istana yang lama, aku belum sempat untuk mengambilkan. Namun aku harus bersabar menghadapi teman yang tinggal se istana denganku. Karena sabar itu kebutuhan dalam hidup.
oleh Rahmat Amien pada 19 Desember 2012 pukul 1:32 ·
Kau tahu mengapa ia marah??? Aku tahu itu, ia menganggapku seorang pemalas yang enggan membereskan maupun membersihkan istana tempat tinggal kami. Aku sengaja melakukan itu, aku ingin melihat ekspresi dia bagaimana. Namun kelakuanku ini memang membuatnya marah padaku, bahkan di sepanjang perjalanan menuju kampus dia enggan berbicara padaku, kecuali ada hal penting yang ingin dia tanyakan padaku.
Sebenarnya bukan aku tak ingin membersihkan istana ini, namun aku malas, kenapa harus aku selalu, dan aku fikir biarkan dia yang mengerjakannya sekali-kali. Kemalasannya ku ini membuat aku merasa bersalah membuat teman seistana denganku marah. Aku selalu merasa bersalah, dan terus merasa bersalah. Dan ku beranikan mengucapkan kata maaf meski sebenarnya tidak sepenuhnya aku bersalah seratus persen.
Pulang kuliah aku harus kerja. Sebelum ketempat kerja aku menemani Budi teman sekampusku menuju ke sebuah tempat belanja alat-alat perkuliahan. Sekalian aku diantar oleh Budi menuju tempat aku bekerja sebagai operator warnet.
Detik demi detikpun berlalu, menit hingga jam pun berjalan. Kini malam telah larut, aku menunggu jemputan dari teman seistana denganku. Biasanya dia tidak pernah telat menjemputku. Namun kali ini dia tidak datang setelah setengah jam aku menunggu dia datang. Ku putuskan untuk menginap di tempat aku kerja.
Keesokan harinya, ketika aku pulang ke istana kecilku. Ku pergi kedapur. Terdapat sebuah tulisan disana ''jangan gunakan barang ini. Jika bukan punya sendiri''. Aku sadar diri, begitu marahnya dia. Barang-barangku memang masih tinggal di istana yang lama, aku belum sempat untuk mengambilkan. Namun aku harus bersabar menghadapi teman yang tinggal se istana denganku. Karena sabar itu kebutuhan dalam hidup.
oleh Rahmat Amien pada 19 Desember 2012 pukul 1:32 ·
Tags:
Diari Hujan
0 komentar