Diary Hujan. Episode Hujan



Sumber : Google
Mendung. Gerimis mulai mengeluarkan kristal-kristal beningnya. Dingin, semua masih tertawa mendengar kisah lucu itu, aku tertawa, kamu tertawa dan kita semua tertawa. Tik tik tik, begitu suara hujan terdengar di genteng atap rumahmu, tempat kita duduk bersama.

Kristal-kristal itu semakin kecang menjatuhkan diri dari langit. Dengan angin yang kencang semakin membuat suasana semakin dingin dan seperti menusuk-nusuk kedalam tulang-tulang tubuhku. Ku lihat di sudut sana, seorang Bapak sedang duduk sambil memperhatikan hujan turun. Sesekali di makannya Leumang yang ada di hadapannya. Selesai makan ia membakar rokok daun nipahnya, sesekali ia mengeluarkan asap dari mulutnya. Bapak setengah baya itu menatap senang karena semua anaknya berkumpul disini. Dia adalah adik dari Mamakku. Anak keempat dari nenekku. ''Tika, peugoet kupi keu abah'' teriaknya meminta dibuatkan kopi oleh anak gadisnya. Ya dia sering di panggil abah oleh anak-anaknya, namun bukan anaknya saja yang memanggil nama itu, kadang aku sebagai keponakannya juga memanggil nama itu, nama yang mereka sebut Abah. Abah memiliki 4 orang anak yang notabenenya perempuan semua, Abah begitu mendambakan seorang anak lelaki, namun di usianya yang sudah setengah Abad, tidak mungkin lagi dia mengharapkannya lagi. Namun dia masih berharap mempunyai cucu laki-laki dari anak-anaknya. Namun cucu pertamanya juga perempuan.



Hujan di luar semakin deras, aku tertahan di sini, di rumah Abah. Meski rumah kami bersebelahan, aku belum ada niat untuk pulang. Di sini Aku hanya bisa bersenda gurau dengan sepupuku menceritakan kisah konyolku ketika masih di kota tempat aku menempuh pendidikan strata 1.

***
Ku putuskan keluar dari sini, dari rumah Abah, karena hujan sudah sedikit lega, ku berlari menuju ke rumah Cut Lot, adik bungsu dari mamakku. Memang rumah kami berdekatan. Rumahku di tengah-tengah, Abah dikanan dan cut lot di kiri. Dan hanya mereka bertiga yang masih hidup sekarang, namun masih ada satu lagi saudara mereka, ya saudara tiri mereka yang tinggal jauh dari mereka. Untuk sekarang seudara tiri dari mereka yang paling tua yang kemudia di susul oleh mamakku, abah dan cut lot.

Ku masuk ke rumah cut lot, rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Ya karena aku sering kesini untuk menjaga silaturrahmi apalagi hanya beberapa jarak saja. Ku lihat disana Leumang sudah dibelah dan sudah terisi di piring. Namun ada nada kesedihan di sudut wajah Makcek sebutanku istri dari Cut lot. Anak laki-laki mereka tidak pulang untuk idul Adha kali ini. Aku melihat beliau menangis sambil memakan leumang yang sudah dibelah dan duduk di sudut, menyaksikan aktifitas mereka. Makcek merasa sedih anak laki-lakinya yang kini sedang menemph pendidikan di salah satu provinsi indonesia tidak bisa pulang karena libur idul adha yang hanya 2 hari. Ini kali pertama ia tidak bisa idul adha dengan anak laki-lakinya. Sebelumnya ia selalu melaksanakan hari raya bersama keluarga.

***
Hujan masih deras di luar, sorepun berganti dengan malam. Hujan pun tidak berhenti. Gema takbir agak sulit terdengar karena hujan terlalu deras, entah telingaku yang peka. Sudah jam 9 belum juga ada suara takbir yang jelas. Jam 10:16 malam baru terdengar suara dari beberapa mobil yang berjalan di jalan raya melakukan takbir bersama sambil berkeliling kota kecilku. Hujan kini sudah agak sedikit reda, ku putuskan untuk istirahat, karena besok harus shalat ied di mesjid terdekat dengan kampungku.

***
Note::
Leumang = makanan khas Aceh yang di masak dalam buluh yang di masak dekat api besar. Biasanya Leumang di masak menjelang hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
''Tika, peugoet kupi keu Abah'' artinya ''Tika, buatkan kopi buat Abah''.


oleh Rahmat Amien pada 25 Oktober 2012 pukul 22:53 ·

Share:

0 komentar