Kepedihan Hujan

Di luar masih hujan dengan derasnya. Dan aku tertahan disini, tak bisa pulang. Rinai hujan begitu damai dengan iramanya. Ya aku selalu bahagia setiap hujan menyapa Negeri ini. Negeri yang kaya akan keindahan dunia. Kau tahu hujan itu menyimpan bejuta kenangan dari setiap butirnya. Begitu indah dan nyata. Terasa damai bila melihat ia turun dari langit-Nya.

Masa lalu kini memang telah berlalu, namun ia kini menjadi kenangan yang sangat berharga bagi setiap makhluk yang bernama manusia. Masa lalu yang menjadi kenangan dapat hadir kapan saja sesuka hatinya. Kini masa lalu yang penuh dengan kenangan itu kembali teringat. Meski kesakitan jiwa bila mengingatnya.


Mungkin kau begitu sempurna yang begitu sulit untuk dilupakan. Semenjak kau pergi menghadap-Nya, diri ini terasa hampa dalam kesendirian. Sulit memang untuk melupakan masa terindah itu. Tak ada alasan yang kuat bagiku untuk melupakanmu begitu saja dalam hati ini.


Ku lihat anak kita, buah dari perkawinan kita selama 5 Tahun kini telah tumbuh menjadi anak yang riang. Meski ia selalu menanyakan “Ayah di mana Bu, kok gak pulang-pulang, apa Ayah tidak ingin bertemu dengan Rein bu??” begitulah celotehnya yang sering ku dengar. “Rein, Ayah sedang berada di surga, dia sedang tersenum melihat kita” Aku memeluk Rein anak semata wayangku yang kini genap berusia 5 tahun 6 bulan 2 hari.

“kapan Ayah akan pulang dari surga Bu???, Rein kangen sama Ayah” Aku bingung harus menjawab apalagi untuk memberi pengertian pada anak yang berusia 5 tahun ini. “Kita ke surga aja ya Bu, kita jumpai Ayah” terlihat senyum yang mengembang di wajah balita ini, aku hanya tersenyum juga sambil memeluk erat.

“Rein, ingin ke surga bu, ingin berjumpa dengan Ayah” aku menatap lekat-lakat anakku ini. Mendengar perkataan bocah yang bereusia 5 tahun ini, membuat aku takut. Takut kehilang Rein anak semata wayang ku.

“Rein lihat ibu, Ibu tidak ingin kehilangan Rein. Ibu sayang Rein. Apa Rein akan meninggalkan Ibu sendiri disini” tanpa sengaja kristal-kristal bening keluar dengan sendirinya dari pelupuk mata ku. Ya aku menangis, menangis ketakutan. Takun kehilangan Rein.

“Kok Ibu menangis??” Tanyanya polos.

“Ibu tidak menangis sayang” segera ku usap air mata itu dengan tangan ku. Dan kekmbali tersenyum kearah Rein.

Hidup ini terlalu singkat. Dan kita tidak tahu kapan akan menghadap-Nya. Kau telah duluan di panggil untuk menghadap-Nya, meski aku belum sanggup untuk kehilanganmu. Namun itu harus aku sanggupkan. Menahan kepedihan jiwa yang selama ini sesak. Tak lupa di setiap sujudku. Ku selipkan doa untukmu agar kita bertemu di akhirat kelak.

Share:

0 komentar