Ubaid bin Umair



 “Apa yang dilakukan Ubaid kepada istriku. Dulu, setiap malam kami lalui ibarat pengantin yang sedang berbulan madu, tetapi sekarang ia telah mengubahnya menjadi seorang ahli ibadah.”

Ubaid bin Umair adalah seorang tabi’in mulia yang sering memberikan petuah. Seringkali orang yang menghadiri majlisnya, tak terkecuali para sahabat, menangis dan terharu biru oleh nasihatnya yang menyentuh kalbu.  Ia adalah hamba Allah yang kekuatan malaikatnya mampu mengalahkan kekuatan setannya, rasa takutnya kepada Allah mampu menundukkan hawa nafsunya. Sehingga, ia bisa menyiramkan rasa takut yang berbuah taubat kepada orang-orang di sekelilingnya. Kisah wanita Mekah yang bertaubat  berikut ini adalah salah satunya.


Suatu ketika, wanita Mekah yang cantik jelita ini melihat wajahnya di cermin. Ia tertakjub dan terkagum dengan kecantikannya yang mempesona. Ia yakin bahwa siapapun pasti akan tergoda ketika melihat pesona kecantikan yang terpancar dari aura wajahnya. Sehingga ia bertanya kepada suaminya,

“Sayang, adakah orang yang tidak tergoda dengan kecantikan wajahku ini?”

“Ya, ada.”

Terperanjat dengan jawaban suaminya, ia kembali bertanya, “Siapa dia?”

“Ubaid bin Umair.”

Karena ingin membuktikan kebenaran atau kekeliruan ucapan suaminya, ia meminta izin, “Kalau begitu, izinkan aku untuk menggodanya.”

“Ya, aku izinkan.”

Selanjutnya, wanita tersebut mendatangi Ubaid bin Umair  dengan berpura-pura bertanya dan meminta fatwa. Ubaid menjawab pertanyaan wanita tersebut di pinggir ruangan Masjidil Haram. Wanita tersebut menyingkapkan penutup wajahnya hingga terlihatlah kecantikan wajahnya bak bulan purnama. Seketika itu juga, Ubaid bin Umair menasehati, “Ittaqillah ya amatallah, Takutlah kepada Allah wahai hamba Allah.”

“Sungguh, aku tergoda denganmu. Maka, lihatlah keadaanku ini.”

“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Jika engkau menjawab dengan jujur, maka aku akan mempertimbangkan ucapanmu, dan memenuhi keinginanmu.”

“Apapun yang ingin engkau tanyakan kepadaku akan aku jawab dengan penuh kejujuran.”

“Beritahukan kepadaku, seandainya malaikat datang untuk mencabut nyawamu, sukakah kamu bila aku memenuhi keinginanmu itu?”

“Tidak.” Jawab wanita itu.

“Engkau telah berkata jujur. Aku bertanya lagi, Seandainya engkau telah dimasukkan ke dalam kubur kemudian engkau didudukkan untuk ditanyai, sukakah engkau bila saat ini aku memenuhi keinginanmu  itu?”

“Tidak.” Jawab wanita itu dengan dada yang sesak. Kali ini dengan suara bergetar.

“Engkau telah berkata jujur. Aku bertanya lagi, seandainya manusia diberi catatan amal-amal mereka dan engkau tidak tahu apakah akan menerima catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, sukakah engkau bila aku memenuhi keinginanmu itu.”

Mendengar pertanyaan itu, wanita itu menjawab dengan suara merinding dan tubuh menggigil, “Tidak.”
“Engkau telah berkata jujur. Sekarang, aku bertanya lagi, seandainya engkau berdiri di hadapan Allah untuk mempertanyakan semua perbuatan-perbuatanmu, sukakah engkau bila aku memenuhi keinginanmu itu?”

“Tidak.” Jawab wanita itu dengan tangis berderai yang semenjak tadi ia tahan.
Ubaid melanjutkan, “Engkau telah berkata jujur. Bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah. Sungguh Dia telah memberimu anugerah besar dan mempercantik dirinya.”

Dengan hati yang bertaubat, ia kembali pulang dan menemui suaminya dengan airmata yang masih berjatuhan. Sesampainya di rumah, suaminya bertanya, “Apakah engkau berhasil menggodanya?”
“Sungguh aku dan kamu berada di atas kebatilan.”

Dan semenjak itu, wanita Mekah ini selalu mengisi waktunya dengan banyak shalat, shiyam dan beribadah kepada Allah. Sampai-sampai suaminya berkata, “Apa yang dilakukan Ubaid kepada istriku. Dulu, setiap malam kami lalui ibarat pengantin yang sedang berbulan madu, tetapi sekarang ia telah mengubahnya menjadi seorang ahli ibadah.” (Disadur dari Dzammul Hawa, halaman : 210-211).


Share:

0 komentar