Mitos Kartini & Rekayasa Sejarah
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009
lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama
tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar
tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia
ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa
Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain
yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca
dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu
saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan
sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru,
guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat
masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan
nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan
terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta
sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya
lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di
Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang
hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari
Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku
Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini
masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan
ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab,
Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan
berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin
ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik
usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak
berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah
memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan
pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We
Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi
juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah
Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat
sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah
pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk
anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia.
Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah
Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong
J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar
memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian
menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de
Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana
Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang
wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).
Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol
dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang
menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada
tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul
Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan
judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit
terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang:
Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds,
yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih
memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.
Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan
terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal
Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda
ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan,
percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita
tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang
mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan
banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan,
bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih
berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita
lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada
RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar
Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan,
seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke
Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan.
Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan
tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola
Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar
Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung
halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana
School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai
saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana
menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan
sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak
(Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim
keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera
digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang
mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain
ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita
ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke
Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama,
yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti
kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia
tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri
ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki
visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat
wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi
dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan
menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh
Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki
kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar
sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang
sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah
Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan,
1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan
ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada
akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam
di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih
berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada
Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya,
Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang
sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18
Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan
teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau
tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig
seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya
memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui
sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.”
(Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan
Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000),
hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu
penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi,
Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai
merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti
nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para
ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum
Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun
cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak
dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal,
namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche
zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat
kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya,
Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib
Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje
kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan
‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh
dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi
relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki
akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis,
rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya,
Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama
ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa
dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan
keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan
pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan
Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya,
Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi
Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat
mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.”
(hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin
canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah
berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau
dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak –
yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis,
jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan
pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April
2009/Dr Adian Husaini]
1 komentar
it's nice
ReplyDelete