Tradisi Meugang di Aceh

Mugang bagi masyarakat Aceh memiliki arti tersendiri dan merupakan tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan oleh masyarakt Aceh. Dan meugang merupakan moment terpenting dilaksanakan selama 3 kali dalam setahun yaitu menjelang Ramadhan, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.

Meugang biasanya dilaksanakan pada tanggal 28 ato 29 syakban, atau tepat 2 hari sebelum ramadhan tiba. Jika kita berbicara tentang meugang sangat dekat kaitannya dengan daging dan sudah menjadi kebiasaan yang harus dipenuhi. Baik kaya maupun miskin jika tidak mengikuti tradisi meugang tisak sah rasanya memasuku ramdhan, idul fitri maupun idul adha. 

Meugang juga berfungsi untuk mengeratkan silaturrahmi antar keluarga, seperti sebait lirik lagu Aceh yang di bawakan oleh Penyanyi Aceh Yaitu Liza dalma lagunya Wasiat Ureung Chik (wasiat orang tua) 

''gata ka leupah jak setot lako'' (Engkau sudah pergi mengikuti suami)
''beuna tawoe-woe jak sawee poma'' (pulanglah sekali-kali mengunjungi ibu)
''bak uroe meugang hatee loen bingong'' (dihari meugang hati ku bingung)
''bek le ta tanyoeng nyoe uroe raya'' (jangan bertanya ini hari raya)
''keupeu dak na sie siploh belangong'' (buat apa ada daging 10 belanga)
''nyoe aneuk inong hana sajan ma'' (jika anak perempuan tidak bersama ibu) 
sebait lirik diatas menceritakan seorang ibu yang ingin bertemu dengan anaknya dihari meugang. Dan sang anak tentunya tidak bole putus silaturrahmi dengan keluarga.

Di pesisir Barat Selatan Aceh sebagian rakyat aceh mengadakn rekreasi bersama keluarga ditempat-tempat wisata seperti pantai dan sunga. Acara ini untuk mempererat silaturrahmi antar keluarga tentunya.

Namun bila dilihat dari sejarah tradisi meugang sudah ada sejak masa kerajaan Aceh, tepatnya pada masa Ultan Iskandar Muda berkuasa 1607-1636. Menurut Teungku Badruzzaman seorang ketua Majelis Adat Aceh. Saat itu Iskandar Muda tersohor dengan raja yang adil, memotong hewan ternak menjelang bulan suci, kemudian membagikannya kepada rakyat fakir miskin maupun anak yatim. Itu juga dilakukan pada saat menjelang hari raya idul fitri dan idul adha. Kala itu meugang diatur dalam qanun Meukuta Alam Al-Asyi1

sebulan sebelum ramdhan, sultan sudah memerintahkan perangkat gampong2  untuk mendata warga miskin dan anak yatim, kemudian data tersebut diverifikasi oleh qadhi3 untuk memilih penerima daging meugang yang layak. Lambat laun, meugang menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh yang mayoritas beragama islam, meskipun modalnya berbeda pada masa Kerajaan Aceh dulu, namun terkandung makna yang sama dibaliknya.

Hingga saat ini meugang merupukan silaturrahmi antar keluarga, yang jauh pulang kekampung halaman untuk merayakan meugang bersama keluarga. Begitu juga orang kaya membagikan daging meugang kepada tetangga yang fakir dan miskin maupun anak yatim. 









   
Tradisi memasak Leumang

http://budayanusantara2010.wordpress.com/
Dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. 

Nenek dianggap orang yang paling ahli dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu untuk memasak lemang. 

Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. 

Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.

 1.Qanun Meukuta Alam Al-Asyi adalah undang-undang kerajaan Aceh dulu
2. Perangkat gampong adalah perangkat desa
3. Qadhi adalah lembaga resmi kesultanan 

Referensi:
Berbagai Sumber

Share:

0 komentar